Cahaya di Jalanku
Karya Nurhidayah
Langit pagi di SMA Balkiah Cerah masih berwarna abu-abu ketika siswa-siswa mulai memenuhi halaman sekolah. Sebuah sekolah swasta di kota kecil yang terkenal sebagai sentra penghasil nanas di Pulau Jawa. Di antara hiruk pikuk langkah kaki di pagi itu nampak sosok laki-laki jangkung. Rama sapaan akrabnya. Ia berjalan perlahan, menikmati embusan angin yang menerpa wajah putih itu.
Langkah kaki Rama sampai di kelas paling ujung, Ia saat ini sebagai siswa Fase F, bocah laki-laki yang mulai menunjukkan bakat bertani seperti halnya pekerjaan yang digeluti orangtuanya itu sekarang duduk di kelas XI peminatan IPA. Berbeda dari kebanyakan teman-temannya, Raka memiliki cara belajar yang unik. Ia lebih suka memahami pelajaran melalui gambar, suara, dan pengalaman langsung daripada hanya membaca buku teks.
Jam pertama di Senin ini adalah pelajaran Matematika. Ia mulai konsentrasi sambil memainkan pensil yang mulai terlihat memendek. Di kelas, Rama sering dianggap aneh. Ketika guru Matematika menjelaskan rumus di papan tulis, teman-temannya dengan cepat mencatat, sementara Rama justru menggambar skema atau menggumamkan rumus agar lebih mudah diingat.
Di kelas, Rama sering dianggap aneh. Ketika Bu Dita, guru Matematika, menjelaskan rumus di papan tulis, teman-temannya sibuk mencatat dengan cepat. Tapi Rama berbeda. Ia justru menggambar skema di buku catatannya atau menggumamkan rumus berulang kali seperti mantra. Hal itu membuatnya jadi bahan bisik-bisik di antara teman-temannya.
“Lihat tuh, Rama lagi-lagi menggambar,” bisik Randi pada teman sebangkunya, Wawan. “Harusnya ia nulis rumus, bukan bikin coretan nggak jelas.”
Rama tak menghiraukan mereka. Baginya, angka-angka dan rumus itu terlalu abstrak jika hanya ditulis begitu saja. Dia butuh memvisualisasikannya dalam bentuk skema dan pola agar lebih mudah dipahami. Itu caranya belajar. Namun, karena kebiasaannya yang tak biasa, dia sering dianggap aneh.
Selesai menjelaskan Bu Dita memberikan tugas kelompok untuk mengerjakan soal Matematika yang cukup sulit. Rama satu kelompok dengan Fira, Siska, dan Dani—teman-teman yang jarang berbicara dengannya. Diskusi dimulai, mereka merasa kesulitan memahami soal.
“Ini susah banget,” keluh Fira. “Aku nggak ngerti harus mulai dari mana.”
Siska mengangguk. “Rumusnya banyak banget. Bingung deh.”
Rama yang sejak tadi diam, tiba-tiba mengambil buku catatannya. Dengan cepat, ia mulai menggambar skema besar yang menghubungkan rumus-rumus di soal itu.
“Jadi gini,” katanya pelan, menunjuk gambarnya. “Soal ini bisa kita pecah jadi beberapa bagian. Lihat di sini, kalau kita pakai rumus ini dulu, nanti hasilnya bisa dipakai di bagian yang ini. Lalu kalau bagian ini selesai, kita tinggal substitusi ke sini.”
Dani melongo. “Oh, jadi kayak alur gitu?”
“Iya, seperti peta jalan,” kata Rama. “Kalau kita lihat soal ini sebagai satu kesatuan, bakal kelihatan rumus mana yang harus dipakai duluan.”
Lima belas menit telah berlalu. Teman-temannya menatap sketsa Rama dengan kagum. Awalnya mereka ragu, tapi setelah mencoba mengikuti alurnya, mereka mulai mengerti dan akhirnya berhasil menyelesaikan soal dengan cepat.
Bu Dita membagikan lintingan undian urutan presentasi. Satu persatu kelompok menjelaskan di depan. Beberapa dari kelompok itu terbata-bata, sedangkan kelompok Rama menjadi satu-satunya yang bisa menjelaskan solusi dengan runtut. Bu Dita tersenyum bangga. “Luar biasa, kalian membuat skema yang sangat membantu pemahaman. Rama, ini idemu?”
Rama mengangguk pelan. Teman-temannya kini melihatnya dengan cara yang berbeda.
Setelah kelas usai, Fira dan Dani menghampiri Rama. “Kamu jago banget, Ram! Kenapa nggak dari dulu ngajarin kita?” ujar Dani antusias.
Rama tersenyum. “Aku pikir cara belajarku terlalu aneh buat kalian.”
Fira menggeleng. “Nggak aneh kok, malah keren! Besok-besok, kalau ada soal sulit, boleh minta bantuanmu lagi?”
Sejak hari itu, Rama tak lagi dianggap aneh. Teman-temannya mulai memahami bahwa setiap orang punya cara belajar yang berbeda. Justru, metode unik Rama membuat pelajaran jadi lebih mudah dipahami. Kini, saat ada soal sulit, mereka tak lagi mengejek Rama—mereka justru mencari bantuannya.
Pada jam keempat ada Pelajaran Sejarah. Rama punya cara yang berbeda lagi dengan siswa lain. Ketika pelajaran Sejarah, ia menutup mata dan membayangkan dirinya berada di masa lampau, menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi. Sayangnya, metode belajarnya ini sering dianggap tidak serius oleh beberapa guru.
Masih di hari Senin dalam pelajaran Biologi, Bu Nana—guru yang terkenal disiplin—menjelaskan tentang sistem peredaran darah manusia. Ia menggambar diagram di papan tulis dan meminta siswa mencatat dengan rapi. Rama, bukannya mencatat, malah mengambil beberapa kertas warna dan mulai menggambar jantung dengan saluran darah yang dibuat menyerupai jalan raya. Warna merah ia gunakan untuk menggambarkan arteri, biru untuk vena, dan kuning untuk kapiler.
Bu Nana mengernyit. “Rama, apa yang kamu lakukan? Kenapa tidak mencatat seperti yang lain?”
Rama menunduk, merasa cemas. “Saya lebih mudah memahami jika saya menggambarnya, Bu. Dengan cara ini, saya bisa membayangkan aliran darah seperti lalu lintas di kota.”
Beberapa teman tertawa kecil. Bu Nana menghela napas. “Baiklah, kalau begitu, nanti kamu harus bisa menjelaskan kepada kelas menggunakan gambarmu.”
Rama mengangguk. Saat tiba gilirannya untuk menjelaskan, ia menunjukkan diagramnya dan berbicara dengan penuh semangat. “Bayangkan jantung ini sebagai pusat kota. Dari sini, darah yang membawa oksigen mengalir melalui jalan utama, yaitu arteri. Kemudian, darah kembali melalui jalan kecil atau vena setelah mengantarkan oksigen ke seluruh tubuh. Begitu terus menerus seperti kendaraan yang tidak pernah berhenti.”
Kelas terdiam sejenak. Lalu, beberapa siswa berbisik, “Wah, jadi lebih mudah dipahami ya!”
Bu Nana tersenyum tipis. “Menarik sekali, Rama. Terima kasih atas penjelasanmu. Kamu memang punya cara sendiri dalam belajar.”
Hari-hari berlalu, dan semakin banyak siswa yang mulai menyadari bahwa setiap orang memiliki metode belajar yang berbeda. Ada yang seperti Rama, lebih visual. Ada yang suka membaca buku tebal tanpa gangguan. Ada yang lebih mudah memahami jika berdiskusi. Guru-guru pun mulai menyadari pentingnya diferensiasi dalam mengajar. Perlahan, metode pembelajaran di SMA Balkiah Cerah mulai berubah.
Rama tidak lagi merasa terasing. Ia bahkan sering diminta teman-temannya untuk membantu menjelaskan materi dengan cara yang lebih mudah dipahami. Ketika ujian tiba, meskipun masih ada tantangan, ia lebih percaya diri. Kini, ia tahu bahwa bukan dirinya yang salah—hanya saja caranya belajar berbeda.
Namun, tidak semua orang senang dengan perubahan ini. Beberapa teman sekelasnya mulai berbisik-bisik di belakangnya.
“Kenapa sih, Rama tiba-tiba jadi jago? Dulu kan dia yang paling sering ketinggalan?” bisik Rian kepada Andi di sudut kelas.
“Iya, aku juga heran. Masa anak yang dulu selalu remedial sekarang malah ngajarin kita?” sahut Andi, suaranya penuh nada curiga.
Kabar tentang keberhasilan Rama rupanya memicu rasa iri. Beberapa teman yang dulunya selalu merasa unggul kini mulai melihat Rama sebagai ancaman. Salah satunya adalah Dion, yang selama ini dikenal sebagai siswa terpintar di kelas. Ia merasa posisinya mulai tergeser, dan itu membuatnya tidak nyaman.
Suatu hari, ketika jam istirahat, Dion mendekati Rama yang sedang berbicara dengan beberapa teman tentang persiapan ujian.
“Hei, belakangan ini kayaknya sok pinter banget, ya?” kata Dion dengan nada meremehkan.
Rama mengerutkan kening. “Maksud kamu apa?” tanyanya, mencoba tetap tenang.
“Ya, kamu dulu aja susah nangkep pelajaran, sekarang tiba-tiba jadi tutor dadakan? Jangan-jangan kau nyontek atau ada trik lain, ya?” Dion menyeringai, suaranya cukup keras hingga beberapa siswa lain mulai memperhatikan.
Rama terkejut. Ia tidak menyangka ada yang berpikir seperti itu. Selama ini, ia berusaha keras menemukan cara belajar yang cocok, dan akhirnya ia bisa memahami materi dengan lebih baik.
“Aku nggak nyontek, Dion. Aku cuma belajar dengan caraku sendiri,” jawab Rama dengan mantap.
“Hah, cara sendiri?” Dion tertawa sinis. “Jangan sok jenius, deh. Semua orang tahu lkamu dulu selalu susah ngerti pelajaran. Mana mungkin tiba-tiba lebih paham dari kita?”
Rama merasa dadanya sesak. Ia ingin menjelaskan, tapi tahu percuma berdebat dengan seseorang yang sudah punya prasangka buruk. Beberapa teman yang selama ini ia bantu hanya diam, tidak ada yang membelanya.
Hari itu, Rama pulang dengan hati berat. Ia berpikir keras, apakah semua usahanya sia-sia? Namun, sebelum ia terlarut dalam kesedihan, ia mengingat sesuatu—dulu ia pernah merasa tak berharga, merasa bodoh. Tapi sekarang ia tahu itu tidak benar.
Besoknya, Rama kembali ke sekolah dengan tekad lebih kuat. Ia tidak akan membiarkan omongan orang lain membuatnya mundur. Jika ada yang iri atau meremehkannya, biarlah. Yang terpenting, ia tahu bahwa ia sudah berjuang dan berhasil mengatasi kesulitannya sendiri.
Saat tiba di sekolah, beberapa teman masih membicarakan dirinya dengan nada meremehkan. Ada yang menyindir bahwa keberhasilannya hanya karena keberuntungan, bukan karena usahanya sendiri. Rama mendengarnya, tetapi ia memilih untuk diam dan tersenyum. Ia sadar, membalas dengan kata-kata tidak akan mengubah pikiran mereka. Yang bisa ia lakukan hanyalah terus berusaha dan membuktikan dirinya melalui tindakan.
Di dalam kelas, guru mengumumkan bahwa akan ada kompetisi akademik tingkat sekolah. Mata Rama berbinar. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa kerja kerasnya tidak sia-sia. Tanpa ragu, ia mendaftarkan diri. Beberapa teman yang masih meragukannya kembali berbisik-bisik, bahkan ada yang tertawa kecil.
“Serius, Rama? Jangan sampai cuma bikin malu,” ucap salah satu teman sekelasnya dengan nada mengejek.
Rama tetap tidak terpengaruh. Ia menghabiskan waktu luangnya untuk belajar lebih giat. Di perpustakaan, ia mengerjakan soal-soal sulit. Di rumah, ia berdiskusi dengan kakaknya yang lebih dulu berpengalaman dalam kompetisi semacam ini. Ia benar-benar fokus dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Hari perlombaan pun tiba. Semua peserta bersiap dengan gugup, tetapi Rama berusaha tetap tenang. Ia mengerjakan soal dengan hati-hati dan penuh konsentrasi. Setelah beberapa jam yang menegangkan, akhirnya pengumuman pemenang pun dilakukan.
“Juara pertama dalam kompetisi akademik tingkat sekolah tahun ini adalah… Rama!”
Suasana seketika menjadi riuh. Beberapa temannya yang dahulu meremehkan terdiam, sementara yang lain memberikan tepuk tangan dengan tulus. Rama naik ke podium dengan perasaan haru. Semua kerja kerasnya terbayar lunas.
Setelah turun dari podium, seorang teman yang dulu sering mengejeknya datang menghampiri.
“Maaf, Rama. Aku salah menilaimu. Kamu memang pantas mendapatkannya,” ucapnya dengan sungkan.
Rama tersenyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan bahwa usaha tidak pernah mengkhianati hasil.”
Sejak saat itu, perlahan-lahan omongan negatif tentangnya mereda. Orang-orang mulai melihatnya bukan sebagai anak yang tidak mampu, tetapi sebagai seseorang yang pantang menyerah. Rama pun semakin yakin bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana orang lain menilainya, melainkan bagaimana ia terus berusaha menjadi lebih baik.