Search
Search
Close this search box.
foto 1
Inikah yang Namanya Merdeka?

Cerpen_Refleksi Kurikulum Merdeka

Inikah yang Namanya Merdeka?

Oleh : Sri Purwaningsih, S.Pd.

Novia berjalan gontai di koridor sekolah, matanya kosong memandang barisan bangku yang biasanya dipenuhi oleh suara tawa dan canda para siswa. Namun hari ini, sekolah itu terasa sunyi. Bahkan suara langkahnya pun terasa lebih nyaring daripada biasanya. Ia merasa cemas, bingung, dan lelah. Semua itu bermula sejak Kurikulum Merdeka diterapkan di sekolahnya, yang selama ini dikenal dengan kedisiplinan dan reputasi yang baik.

Sebelum kurikulum ini hadir, Novia adalah seorang guru yang bangga dengan profesinya. Ia merasa bahwa mengajar adalah panggilan hidup. Ia selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi siswanya. Tugasnya bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai karakter. Bagi Novia, pendidikan lebih dari sekadar mengisi kepala siswa dengan berbagai teori, tetapi juga membentuk akhlak yang baik, mempersiapkan mereka untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Namun, semua itu mulai berubah ketika Kurikulum Merdeka diterapkan.

Awalnya, Novia sangat antusias. Kurikulum yang dirancang untuk memberi kebebasan lebih kepada siswa, memberi ruang bagi mereka untuk mengembangkan potensi dan minat pribadi, terdengar seperti hal yang sangat positif. Kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan untuk bereksplorasi, bebas dari tekanan ujian yang membelenggu, serta memberi siswa kesempatan untuk mengejar apa yang mereka sukai tanpa dibatasi oleh batasan yang ada dalam kurikulum sebelumnya.

Namun, ketika implementasinya dimulai, segalanya tampak berbeda. Novia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Kurikulum Merdeka, yang awalnya direncanakan untuk memberikan kebebasan yang terarah, ternyata mulai disalahartikan oleh banyak pihak. Kebebasan yang seharusnya membangun kreativitas dan kemampuan kritis, malah membuat sebagian siswa semakin tidak disiplin. Mereka merasa tidak perlu lagi mengikuti aturan, tidak perlu lagi belajar dengan sungguh-sungguh, karena tidak ada lagi ujian yang menilai secara objektif. Tidak ada lagi standar yang harus dicapai.

Pada hari itu, Novia mengajar di kelas XI IPA. Pelajaran yang ia bawakan adalah materi tentang integrasi, salah satu topik matematika yang cukup kompleks. Namun, saat ia memulai pelajaran, ia merasakan ada yang tidak beres. Beberapa siswa duduk dengan santai, ada yang asyik bermain ponsel, dan yang lebih mengejutkan lagi, ada yang tidur dengan nyenyak di bangkunya. Novia berusaha keras untuk mengingatkan mereka. “Ayo, kalian tidak bisa seperti ini! Ini pelajaran penting. Kalau kalian terus seperti ini, kalian akan kesulitan di masa depan.”

Namun, suara Novia seperti angin yang lewat begitu saja. Siswa-siswa itu tidak menggubrisnya. Mereka merasa bahwa tidak ada lagi yang perlu mereka kejar, karena tidak ada lagi ujian yang mengukur mereka. Tidak ada lagi ujian yang menjadi standar untuk menilai seberapa jauh mereka telah belajar. Bahkan, mereka semakin malas dan enggan berusaha.

Satu-satunya hal yang membuat mereka datang ke sekolah hanyalah untuk memenuhi kewajiban tanpa niat untuk belajar. Mereka datang terlambat, keluar lebih awal, dan menghabiskan waktu di sekolah hanya untuk sekedar nongkrong atau bermain media sosial. Novia merasa hancur. Ini bukan yang ia bayangkan dari Kurikulum Merdeka. Bukan kebebasan seperti ini yang ia harapkan.

Beberapa minggu kemudian, Novia berbicara dengan Kepala Sekolah, Pak Haryo, untuk mengungkapkan keprihatinannya.

 “Pak Haryo, saya rasa ada yang salah dengan penerapan kurikulum ini. Siswa-siswa semakin tidak disiplin. Mereka merasa bebas, tetapi kebebasan ini disalahgunakan. Tidak ada lagi motivasi untuk belajar karena tidak ada ujian. Mereka merasa tidak ada yang harus dikejar.”

Pak Haryo menghela napas panjang. “Saya mengerti, Novia. Banyak guru yang merasa hal yang sama. Namun, kita harus mengikuti aturan yang ada. Kurikulum ini memang memberikan kebebasan, tapi kita harus tetap memberi mereka pembinaan agar mereka bisa menyaring kebebasan itu dengan bijak.”

Novia merasa semakin gelisah. Apa yang harus ia lakukan? Ia ingin mengubah keadaan ini, tetapi bagaimana caranya jika seluruh sistem pendidikan sudah berubah, dan kebebasan itu malah membawa dampak yang buruk? Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit.

Hari demi hari berlalu, dan Novia terus mengajar dengan perasaan yang semakin tertekan. Di kelas, ia mencoba berbagai metode baru yang seharusnya sesuai dengan Kurikulum Merdeka, seperti diskusi kelompok dan proyek kreatif. Namun, lagi-lagi, banyak siswa yang tidak menunjukkan minat sama sekali. Mereka lebih memilih untuk tidak ikut serta atau hanya berdiam diri tanpa berpartisipasi. Mereka merasa tidak perlu memenuhi ekspektasi apapun.

Suatu hari, Novia menemui seorang siswanya, Rina, yang selama ini cukup aktif dan menunjukkan prestasi di kelas.

 “Rina, kenapa kamu tampak tidak seperti biasanya? Kamu tidak bersemangat untuk belajar lagi?” tanya Novia, penuh perhatian.

Rina mengangkat bahu.

“Bu, saya merasa tidak ada gunanya belajar keras lagi. Tidak ada ujian, tidak ada yang menilai. Lagipula, saya pikir kita bisa belajar dengan cara yang lebih santai dan bebas.”

Novia merasa hatinya teriris mendengar itu. Di satu sisi, ia ingin memberikan kebebasan kepada siswa untuk berekspresi dan belajar dengan cara mereka sendiri. Tetapi, jika kebebasan itu menyebabkan mereka kehilangan disiplin, kehilangan semangat untuk belajar, dan kehilangan rasa tanggung jawab, apakah itu benar-benar kebebasan?

“Rina, kebebasan itu harus ada batasannya. Jika kita bebas tanpa arah, kita justru akan kehilangan tujuan hidup kita. Belajar itu bukan hanya tentang ujian, tapi tentang membentuk karakter dan masa depan yang lebih baik,” kata Novia dengan tegas, mencoba memberikan pemahaman.

Namun, Rina hanya tersenyum dan berkata,

“Bu, saya rasa kita terlalu serius dengan ini. Hidup itu harus dinikmati, bukan?”

Novia terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.

Hari-hari berikutnya, semakin banyak siswa yang menunjukkan sikap serupa. Mereka datang ke sekolah hanya untuk memenuhi kewajiban, tetapi mereka tidak lagi merasa terikat pada standar apapun. Tidak ada lagi ujian yang membuat mereka takut atau bersemangat untuk belajar. Tidak ada lagi batasan yang menghalangi mereka untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Bahkan, akhlak mereka pun semakin menurun. Mereka tidak lagi menghormati guru, berbicara dengan kasar, dan tidak ada rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.

Novia merasa kelelahan, tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasi situasi ini. Kurikulum Merdeka yang ia harapkan bisa membawa perubahan positif justru menghasilkan kebebasan yang tanpa arah. Novia bertanya-tanya dalam hati, apakah kebebasan yang sesungguhnya adalah kebebasan untuk tidak bertanggung jawab?

Suatu saat sekolah mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa untuk membahas hasil evaluasi semesteran. Novia hadir sebagai bagian dari pengajar yang menyampaikan perkembangan siswa. Saat pertemuan berlangsung, salah satu orang tua siswa mengangkat tangan dan berkata,

 “Pak Kepala Sekolah, saya ingin bertanya. Saya tidak tahu kenapa anak saya menjadi lebih malas setelah mengikuti Kurikulum Merdeka. Dia tidak lagi tertarik untuk belajar, dan nilai-nilainya terus menurun. Bahkan, dia semakin tidak disiplin dan tidak menghargai waktu.”

Pak Haryo terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba, salah satu siswa yang hadir di pertemuan itu, Rina, berdiri dan berkata,

“Kami senang dengan kurikulum baru ini. Kami tidak perlu lagi menghadapi ujian yang membebani. Kami bisa belajar dengan cara kami sendiri.”

Novia terkejut, tetapi kemudian ia menyadari satu hal. Mungkin, di balik kebebasan yang diberikan oleh Kurikulum Merdeka, yang sebenarnya hilang adalah rasa tanggung jawab dan disiplin. Kebebasan tanpa batasan hanya membawa kehancuran, bukan kebahagiaan. Ia tersadar bahwa kebebasan itu harus dilengkapi dengan kontrol diri, dengan tujuan yang jelas.

Pada akhirnya, Novia mengumpulkan semua keberanian yang ia miliki dan mengajukan ide untuk menyeimbangkan kebebasan dengan disiplin yang jelas.

 “Kita perlu merancang kembali implementasi kurikulum ini. Kebebasan yang diberikan harus disertai dengan panduan yang jelas, dan nilai-nilai moral serta etika harus tetap dijaga,” katanya di hadapan kepala sekolah dan orang tua siswa.

Novia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia percaya bahwa perubahan itu harus dimulai dari kesadaran. Dan kesadaran itu dimulai dari dirinya sendiri.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait